Selamat Datang Di Ghostblog

Ghostblog ini merupakan blogger tentang ilmu fiqih yang sebenarnya merupakan tugas dari guru fiqih saya untuk membuat blogger ini ..

Blogger ini berisi tentang agama khususnya Ilmu Fiqih

dab saya berharap dapat menambah wawasan bagi yang membacanya ... amien ....

Jumat, 31 Juli 2009

:: Sejarah Ilmu fiqih ::

Pada waktu itu kaum Muslimin, berada pada tingkat kehidupannya yang semakin baik, tidak lagi berkonsentrasi untuk memperluas wilayahnya, melainkan berupaya untuk membangun suatu peradaban melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Maka muncullah berbagai kegiatan dalam kaitan dengan kebangkitan ilmu pengetahuan ini, yang terdiri dari tiga bentuk, yakni (1) penyusunan buku-buku, (2) perumusan ilmu-ilmu Islam, dan (3) penterjemahan manuskrip dan buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. Ilmu pengetahuan yang berkembang tidak hanya ilmu-ilmu agama Islam saja, tetapi juga ilmu-ilmu keduniaan yang memang tak dapat dipisahkan dengan ilmu-ilmu agama, sehingga pada masa ini muncul ahli-ahli ilmu agama Islam, ahli-ahli ilmu bahasa Arab, ahli-ahli ilmu alam, para filosuf dan sebagainya.  


Pada periode inilah ilmu fiqih berkembang. Ilmu fiqih secara konvensional terdiri dari: fiqih 'ibâdât (fiqih tentang persoalan-persoalan ibadah, seperti shalat, zakat, puasa dan haji), fiqih munâkahât (fiqih tentang perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengannya seperti waris dan hibah), fiqih mu'âmalât (fiqih tentang hubungan perdata) dan fiqih jinâyât (fiqih tentang tindak pidana dan hukumannya). Pembahasan jenis-jenis fiqih terintegrasi menjadi satu kesatuan. 


Namun ada satu aspek dari fiqih yang sering dibahas secara terpisah, yakni fiqih siyâsah atau disebut juga ilmu siyâsah syar'iyyah. Fiqih ini membahas tentang tata negara atau managemen negara menurut Islam, yang meliputi aspek politik, ekonomi dan hubungan antar golongan/negara. Akan tetapi aspek politik merupakan perhatian utama dalm fiqih siyasah ini, sehingga para penulis pada saat ini banyak menggunakan istilah, misalnya, pemikiran politik Islam (al-fikr al-siyâsî al-Islâmî, Islamic political thought), ilmu pemerintahan Islam (al-hukûmah al-Islâmiyyah, Islamic government), dan lain-lain. 


Dengan demikian ilmu fiqih adalah ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syariah yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalil yang rinci. Obyek kajian ilmu fiqih ini adalah perbuatan orang mukallaf (dewasa) dalam pandangan hukum syariah, agar dapat diketahui mana yang diwajibkan, disunahkan, diharamkan, dimakruhkan dan diperbolehkan, serta mana yang sah dan mana yang batal (tidak sah). Meskipun dalam penggunaannya sering disamakan antara fiqih dengan syariah, namun keduanya sebenarnya memiliki pengertian yang berbeda. 


Pengertian syariah ini pun mengalami perkembangan, kalau semula ia difahami sebagai segala peruturan yang datang dari Allah, baik berupa hukum-hukum 'akidah (ahkâm i'tiqâdiyyah), hukum-hukum yang bersifat praktis (ahkâm 'amaliyyah) maupun hukum-hukum akhlaq (ahkâm khuluqiyyah), tetapi kemudian diartikan hanya sebagai hukum-hukum yang bersifat praktis. Bedanya dengan fiqih adalah, kalau syariah itu merupakan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Quran dan hadis, maka fiqih merupakan hasil pemahaman dan interpretasi para mujtahid terhadap teks-teks al-Quran dan hadis serta hasil ijtihad mereka terhadap persitiwa yang hukumnya tidak ditemukan di dalam keduanya. Kedua istilah ini dalam bahasa non-Arabnya disebut juga sebagai "hukum Islam" atau "Islamic law". 


Ilmu fiqih baru muncul pada periode tabi' al-tabi'in abad kedua Hijriyah, dengan munculnya para mujtahid di berbagai kota, serta terbukanya pembahasan dan perdebatan tentang hukum-hukum syariah. Pada masa-masa itulah di Irak muncul seorang mujtahid besar bernama Abu Hanifah al-Nu'man ibn Tsabit (80-150 H atau 700-767 M) yang merupakan orang pertama yang memformulasikan ilmu fiqih, tetapi ilmu ini belum dibukukan. Sementara itu, di Madinah muncul juga seorang mujtahid besar bernama Malik ibn Anas (93-178 H atau 713-795 M) yang memformulasikan ilmu fiqih dan membukukan kumpulan hadis berjudul al-Muwaththa', yang terutama berisi hukum-hukum syariah. Pembukuan kitab ini dilakukan atas permintaan khalifah Abu Ja'far al-Manshur (137-159 H atau 754-775 M), dengan maksud sebagai pedoman bagi kaum Muslimin dalam mengarungi kehidupan mereka. 


Khalifah Harun al-Rasyid (170-194 H atau 786-809 M) pernah berusaha untuk menjadikan kitab ini sebagai kitab hukum yang berlaku untuk umum, tetapi usaha ini tidak disetujui oleh Malik ibn Anas. Kitab ini kemudian menjadi dasar bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Hijaz (aliran ahl-hadis). Sedangkan yang menjadi pedoman bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Irak (aliran ahl al-ra'y) adalah buku-buku yang ditulis oleh murid-murid Abu Hanifah, terutama Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani (102-189 H) dengan bukunya antara lain al-Jâmi' al-Kabîr dan al-Jâmi' al-Shaghîr dan Abu Yusuf (112-183 H) dengan bukunya berjudul Kitab al-Kharâj (Kitab tentang Pajak Penghasilan).Abu Hanifah sendiri pernah diminta menjadi qâdhî (hakim) oleh seorang khalifah Dinasti Abbasiyyah, tetapi permintaan ini ditolak, sementara Abu Yusuf pernah menjadi qâdhî pada masa khalifah Harun al-Rasyid. Baik Abu Hanifah maupun Malik ibn Anas kemudian oleh para pengikutnya masing-masing dijadikan sebagai pendiri mazhab Hanafi dan Maliki. 


Sejak periode tabi'in sering terjadi perdebatan antara kedua aliran tersebut. Sementara kalangan ahl al-hadis mencela kelompok ahl al-ra'y dengan tuduhan bahwa ahl al-ra'y meninggalkan sebagian hadis, maka ahl al-ra'y pun menjawab dengan mengemukakan argumentasi tentang 'illah-'illah hukum (legal reasons) dan maksud-maksud syariah. Pada umumnya ahl al-ra'y dengan kemampuan debatnya dapat mengalahkan argumentasi ahl al-hadîts, sebagaimana contoh di atas. Maka munculnya Muhammad ibn Idris al-Syafi'i atau yang dikenal dengan Imam Syafii (150-204 H atau 767-820 M), yang di satu segi menguasai banyak hadis dan di lain segi memiliki kemampuan dalam menggali dasar-dasar dan tujuan-tujuan hukum, dapat menghilangkan supremasi ahl al-ra'y terhadap ahl al-hadis dalam perdebatan. 


Karena jasanya membela hadis, maka ia dijuluki sebagai "nâshir al-sunnah" (pembela Sunnah). Pembelaan ini tidak hanya ditujukan kepada kalangan ahl al-ra'y yang banyak mendahulukan rasio dari pada hadis, tetapi juga kepada kalangan ahl al-hadîts yang dalam beberapa hal menggunakan hadis lemah atau mendahulukan praktik penduduk Madinah dari pada hadis. Pikiran-pikiran Imam Syafii ini memang tidak terlepas dari latar belakangnya yang pernah belajar di lingkungan kedua aliran ini, yakni dengan Malik ibn Anas dan dengan al-Syaibani, murid Abu Hanifah. Pemikiran atau hasil ijtihad al-Syafi'i dibukukan dalam kitabnya berjudul al-Umm, dan oleh pengikutnya ia kemudian dijadikan sebagai pendiri mazhab Syafii. 


Mujtahid besar lainnya adalah Ahmad ibn Hanbal (164-241 H atau 780-855 M), yang pernah belajar pada Imam Syafii dan Abu Yusuf (murid Abu Hanifah). Di samping seorang ahli fiqih (faqih), ia juga dikenal sebagai seorang ahli Hadis (muhaddits), dan ia memang menulis kitab hadis Musnad Ahmad. Meskipun ia pernah belajar pada al-Syafi'i dan Abu Yusuf, tetapi ia memiliki pemikiran fiqih yang agak berbeda dengan keduanya serta berbeda pula dengan pemikiran fiqih Malik, sehingga para pengikutnya menjadikannya sebagai pendiri mazhab Hanbali. 


Keempat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali) inilah yang sampai kini dianggap sebagai mazhab fiqih yang beraliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Selain empat mazhab ini (dalam ahl-al-Sunnah) masih ada mazhab lain, akan tetapi kini sudah tidak ada pengikut lagi, yakni mazhab al-Awza'i yang didirikan oleh Abd al-Rahman ibn 'Amr al-Awza'i (88-157 H) dan mazhab al-Zhahiri yang didirikan oleh Daud ibn Ali al-Ashfahani (202-270 H). 


Di samping mazhab-mazhab ahl al-Sunnah ini ada mazhab-mazhab fiqih di lingkungan Syiah, yakni mazhab Syiah Ja'fariyyah, mazhab Zaidiyyah, dan mazhab Isma'iliyyah. Namun yang terkenal adalah mazhab Ja'fariyyah, sebuah mazhab yang didirikan oleh Ja'far al-Shadiq (80-148 H) dan diikuti oleh kaum Syiah Imamiyyah (Dua belas imam). [] (Rudhy Suharto)

Rabu, 29 Juli 2009

:: pengertian ::

Ilmu Fiqih :

Fiqih menurut bahasa berarti ‘paham’, seperti dalam firman Allah:

“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa:78)

dan sabda Rasulullah saw :

“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.” (Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511)

Sedangkan menurut istilah :

Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.

Sedangkan Hukum-hukum syari’at itu sendiri menjadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
Hubungan Antara Fiqh dan Aqidah Islam



Selasa, 28 Juli 2009

:: Pangamis ::

( pantun agamamis)  

Sungguh indah pintu dipahat
Burung puyuh di atas dahan
Kalau hidup hendak selamat
Taat selalu perintah Tuhan


Redup bulan nampak nak hujan
Pasang pelita sampai berjelaga
Hidup mati di tangan Tuhan
Tiada siapa dapat menduga


Belatuk di atas dahan
Terbang pergi ke lain pokok
Hidup mati ditangan Tuhan
Kepada Allah kita bermohon


Terang bulan terang bercahaya
Cahaya memancar ke Tanjung Jati
Jikalau hendak hidup bahagia
Beramal ibadat sebelum mati

:: Pengertian ::

Ushul Fiqih :

Dari Segi Bahasa : Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqih tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqih.
Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.


Dari Segi Istilah : Sedangkan menurut istilah, ashl dapat berarti dalil, seperti dalam ungkapan yang dicontohkan oleh Abu Hamid Hakim : “Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah Ta’ala berfirman: “…dan tunaikanlah zakat!.”
Dan dapat pula berarti kaidah kulliyah yaitu aturan/ketentuan umum, seperti dalam ungkapan sebagai berikut : “Kebolehan makan bangkai karena terpaksa adalah penyimpangan dari ashl, yakni dari ketentuan/aturan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram; Allah Ta’ala berfirman : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai… “.
Dengan melihat pengertian ashl menurut istilah di atas, dapat diketahui bahwa Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua kata, berarti dalil-dalil bagi fiqh dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi fiqh.