Selamat Datang Di Ghostblog

Ghostblog ini merupakan blogger tentang ilmu fiqih yang sebenarnya merupakan tugas dari guru fiqih saya untuk membuat blogger ini ..

Blogger ini berisi tentang agama khususnya Ilmu Fiqih

dab saya berharap dapat menambah wawasan bagi yang membacanya ... amien ....

Kamis, 03 September 2009

:: Hudud ::

Pengertian :

Hukuman hudud adalah kafarat bagi pelakunya,

Hadis riwayat Ubadah bin Shamit ra., ia berkata: 
Kami sedang bersama Rasulullah saw. dalam suatu majelis, lalu beliau bersabda: Apakah kamu sekalian mau membaiatku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak berzina, tidak mencuri serta tidak membunuh jiwa yang telah Allah haramkan kecuali dengan hak. Barang siapa di antara kalian yang memenuhinya maka pahalanya ditanggung Allah. Dan barang siapa yang melakukan salah satunya, maka ia akan dihukum dan hukuman itu menjadi kafarat baginya. Dan barang siapa yang melakukan salah satunya kemudian Allah menutupi, maka perkaranya diserahkan kepada Allah. Jika Allah berkenan memberi ampunan, Allah akan mengampuninya dan jika Allah hendak menyiksa, maka Allah akan menyiksanya. (Shahih Muslim No.3223)

:: Kafarat ::

Pengertian ::

Hukuman denda pada bulan Puasa dikarenakan : 

1. Kafarat bagi laki-laki yang menjima'i isterinya
Telah lewat hadits Abu Hurairah, tentang laki-laki yang menjima'i isterinya di siang hari bulan Ramadhan, bahwa dia harus mengqadha' puasanya dan membayar kafarat yaitu : membebaskan seorang budak, kalau tidak mampu maka puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin.

Ada yang mengatakan : kafarat jima' itu boleh dipilih secara tidak tertib (yaitu tidak urut seperti yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah, -ed), tetapi yang meriwayatkan dengan tertib (sesuai urutannya, -ed) perawinya lebih banyak, maka riwayatnya lebih rajih karena perawinya lebih banyak jumlahnya dan padanya terdapat tambahan ilmu, mereka sepakat menyatakan tentang batalnya puasanya karena jima'. 

Tidak pernah terjadi hal seperti ini dalam riwayat-riwayat lain, dan orang yang berilmu menjadi hujjah atas yang tidak berilmu, yang menganggap lebih rajih yang tertib disebabkan karena tertib itu lebih hati-hati, karena itu berpegang dengan tertib sudah cukup, baik bagi yang menyatakan boleh memilih atau tidak, berbeda dengan sebaliknya.

2. Gugurnya kafarat
Barang siapa yang telah wajib membayar kafarat, namun tidak mampu mebebaskan seorang budak ataupun puasa (dua bulan berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin), maka gugurlah kewajibannya membayar kafarat, karena tidak ada beban syari'at kecuali kalau ada kemampuan.

Allah berfirman (yang artinya) : “ Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuan" [Al-Baqarah : 286]

Dan dengan dalil Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menggugurkan kafarat dari orang tersebut, ketika mengabarkan kesulitannya dan memberinya satu wadah korma untuk memberikan keluarganya.

3. Kafarat hanya bagi laki-laki
Seorang wanita tidak terkena kewajiban membayar kafarat, karena ketika dikhabarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam perbuatan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, beliau hanya mewajibkan satu kafarat saja

:: Ta'zir ::

Pengertian :

       Hukuman ta'zir adalah hukuman yang bersifat pengajaran terhadap berbagai perbuatan yang tidak dihukum dengan hukuman hudud atau terhadap kejahatan yang sudah pasti ketentuan hukumnya hanya syaratnya tidak cukup (misalnya saksi tidak cukup dsb). Pelaksanaan hukuman takzir ini diserahkan kepada penguasa yang akan menjatuhkan hukuman. dan dalam hal ini hakim atau penguasa memiliki kebebasan untuk menetapkan hukuman takzir kepada pelaku tindak pidana yang hukumannya tidak disebutkan dalam Alquran. pemberian hak ini adalah untuk mengatur kehidupan masyarakat secara tertib dan untuk mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan. 


Tindak pidana yang dikenakan hukuman takzir selain tindak pidana yang dihukum dengan hudud, qisas atau diyat, dan kiffarat.  


Bentuk hukumannya bisa berupa hukuman mati, dera, kurungan, pengasingan, salib, ancaman, denda, dsb.

:: Qiyas ::

Pengertian :

      Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.[16]

Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.

Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)

Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.[17]
Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:

1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.

2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.

3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.[18]


:: Jinayat ::

Pengertian :

      Jinayat Jinayah menurut fuqaha' ialah perbuatan atau perilaku yang jahat yang dilakukan oleh seseorang untuk mencerobohi atau mencabul kehormatan jiwa atau tubuh badan seseorang yang lain dengan sengaja.Penta`rifan tersebut adalah khusus pada kesalahan-kesalahan bersabit dengan perlakuan seseorang membunuh atau menghilangkan anggota tubuh badan seseorang yang lain atau mencederakan atau melukakannya yang wajib di kenakan hukuman qisas atau diyat.Kesalahan-kesalahan yang melibatkan harta benda, akal fikiran dan sebagainya adalah termasuk dalam jinayah yang umum yang tertakluk dibawahnya semua kesalahan yang wajib dikenakan hukuman hudud, qisas,diyat atau ta`zir.

:: Qishas ::

Pengertian :

1. Pengertian Qishash

Menurut syaraâ’ qishash ialah pembalasan yang serupa dengan perbuatan pembunuhan melukai merusakkan anggota badan/menghilangkan manfaatnya, sesuai pelangarannya.


2. Qishash ada 2 macam :

            a. Qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan.

            b. Qishash anggota badan, yakni hukum qishash atau tindak pidana melukai, merusakkan anggota badan, atau menghilangkan manfaat anggota badan.


3. Syarat-syarat Qishash

            a. Pembunuh sudah baligh dan berakal (mukallaf). Tidak wajib qishash bagi anak kecil atau orang gila, sebab mereka belum dan tidak berdosa.

            b. Pembunuh bukan bapak dari yang terbunuh. Tidak wajib qishash bapak yang membunuh anaknya. Tetapi wajib qishash bila anak membunuh bapaknya.

            c. Oran g yang dibunuh sama derajatnya, Islam sama Islam, merdeka dengan merdeka, perempuan dengan perempuan, dan budak dengan budak.

            d. Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, anggota dengan anggota, seperti mata dengan mata, telinga dengan telinga.

            e. Qishash itu dilakukan dengn jenis barang yang telah digunakan oleh yang membunuh atau yang melukai itu.

            f. Orang yang terbunuh itu berhak dilindungi jiwanya, kecuali jiwa oran g kafir, pezina mukhshan, dan pembunuh tanpa hak. Hal ini selaras hadits rasulullah, ‘Tidakklah boleh membunuh seseorang kecuali karena salah satu dari tiga sebab: kafir setelah beriman, berzina dan membunuh tidak dijalan yang benar/aniaya’


4. Pembunuhan olah massa / kelompok orang

Sekelompok oran g yang membunuh seorang harus diqishash, dibunuh semua..


5. Qishash anggota badan

Semua anggota tubuh ada qishashnya. Hal ini selaras dengan firman-Nya, ‘Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.’ (QS. Al-Maidah : 45)

Jumat, 31 Juli 2009

:: Sejarah Ilmu fiqih ::

Pada waktu itu kaum Muslimin, berada pada tingkat kehidupannya yang semakin baik, tidak lagi berkonsentrasi untuk memperluas wilayahnya, melainkan berupaya untuk membangun suatu peradaban melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Maka muncullah berbagai kegiatan dalam kaitan dengan kebangkitan ilmu pengetahuan ini, yang terdiri dari tiga bentuk, yakni (1) penyusunan buku-buku, (2) perumusan ilmu-ilmu Islam, dan (3) penterjemahan manuskrip dan buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. Ilmu pengetahuan yang berkembang tidak hanya ilmu-ilmu agama Islam saja, tetapi juga ilmu-ilmu keduniaan yang memang tak dapat dipisahkan dengan ilmu-ilmu agama, sehingga pada masa ini muncul ahli-ahli ilmu agama Islam, ahli-ahli ilmu bahasa Arab, ahli-ahli ilmu alam, para filosuf dan sebagainya.  


Pada periode inilah ilmu fiqih berkembang. Ilmu fiqih secara konvensional terdiri dari: fiqih 'ibâdât (fiqih tentang persoalan-persoalan ibadah, seperti shalat, zakat, puasa dan haji), fiqih munâkahât (fiqih tentang perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengannya seperti waris dan hibah), fiqih mu'âmalât (fiqih tentang hubungan perdata) dan fiqih jinâyât (fiqih tentang tindak pidana dan hukumannya). Pembahasan jenis-jenis fiqih terintegrasi menjadi satu kesatuan. 


Namun ada satu aspek dari fiqih yang sering dibahas secara terpisah, yakni fiqih siyâsah atau disebut juga ilmu siyâsah syar'iyyah. Fiqih ini membahas tentang tata negara atau managemen negara menurut Islam, yang meliputi aspek politik, ekonomi dan hubungan antar golongan/negara. Akan tetapi aspek politik merupakan perhatian utama dalm fiqih siyasah ini, sehingga para penulis pada saat ini banyak menggunakan istilah, misalnya, pemikiran politik Islam (al-fikr al-siyâsî al-Islâmî, Islamic political thought), ilmu pemerintahan Islam (al-hukûmah al-Islâmiyyah, Islamic government), dan lain-lain. 


Dengan demikian ilmu fiqih adalah ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syariah yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalil yang rinci. Obyek kajian ilmu fiqih ini adalah perbuatan orang mukallaf (dewasa) dalam pandangan hukum syariah, agar dapat diketahui mana yang diwajibkan, disunahkan, diharamkan, dimakruhkan dan diperbolehkan, serta mana yang sah dan mana yang batal (tidak sah). Meskipun dalam penggunaannya sering disamakan antara fiqih dengan syariah, namun keduanya sebenarnya memiliki pengertian yang berbeda. 


Pengertian syariah ini pun mengalami perkembangan, kalau semula ia difahami sebagai segala peruturan yang datang dari Allah, baik berupa hukum-hukum 'akidah (ahkâm i'tiqâdiyyah), hukum-hukum yang bersifat praktis (ahkâm 'amaliyyah) maupun hukum-hukum akhlaq (ahkâm khuluqiyyah), tetapi kemudian diartikan hanya sebagai hukum-hukum yang bersifat praktis. Bedanya dengan fiqih adalah, kalau syariah itu merupakan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Quran dan hadis, maka fiqih merupakan hasil pemahaman dan interpretasi para mujtahid terhadap teks-teks al-Quran dan hadis serta hasil ijtihad mereka terhadap persitiwa yang hukumnya tidak ditemukan di dalam keduanya. Kedua istilah ini dalam bahasa non-Arabnya disebut juga sebagai "hukum Islam" atau "Islamic law". 


Ilmu fiqih baru muncul pada periode tabi' al-tabi'in abad kedua Hijriyah, dengan munculnya para mujtahid di berbagai kota, serta terbukanya pembahasan dan perdebatan tentang hukum-hukum syariah. Pada masa-masa itulah di Irak muncul seorang mujtahid besar bernama Abu Hanifah al-Nu'man ibn Tsabit (80-150 H atau 700-767 M) yang merupakan orang pertama yang memformulasikan ilmu fiqih, tetapi ilmu ini belum dibukukan. Sementara itu, di Madinah muncul juga seorang mujtahid besar bernama Malik ibn Anas (93-178 H atau 713-795 M) yang memformulasikan ilmu fiqih dan membukukan kumpulan hadis berjudul al-Muwaththa', yang terutama berisi hukum-hukum syariah. Pembukuan kitab ini dilakukan atas permintaan khalifah Abu Ja'far al-Manshur (137-159 H atau 754-775 M), dengan maksud sebagai pedoman bagi kaum Muslimin dalam mengarungi kehidupan mereka. 


Khalifah Harun al-Rasyid (170-194 H atau 786-809 M) pernah berusaha untuk menjadikan kitab ini sebagai kitab hukum yang berlaku untuk umum, tetapi usaha ini tidak disetujui oleh Malik ibn Anas. Kitab ini kemudian menjadi dasar bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Hijaz (aliran ahl-hadis). Sedangkan yang menjadi pedoman bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Irak (aliran ahl al-ra'y) adalah buku-buku yang ditulis oleh murid-murid Abu Hanifah, terutama Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani (102-189 H) dengan bukunya antara lain al-Jâmi' al-Kabîr dan al-Jâmi' al-Shaghîr dan Abu Yusuf (112-183 H) dengan bukunya berjudul Kitab al-Kharâj (Kitab tentang Pajak Penghasilan).Abu Hanifah sendiri pernah diminta menjadi qâdhî (hakim) oleh seorang khalifah Dinasti Abbasiyyah, tetapi permintaan ini ditolak, sementara Abu Yusuf pernah menjadi qâdhî pada masa khalifah Harun al-Rasyid. Baik Abu Hanifah maupun Malik ibn Anas kemudian oleh para pengikutnya masing-masing dijadikan sebagai pendiri mazhab Hanafi dan Maliki. 


Sejak periode tabi'in sering terjadi perdebatan antara kedua aliran tersebut. Sementara kalangan ahl al-hadis mencela kelompok ahl al-ra'y dengan tuduhan bahwa ahl al-ra'y meninggalkan sebagian hadis, maka ahl al-ra'y pun menjawab dengan mengemukakan argumentasi tentang 'illah-'illah hukum (legal reasons) dan maksud-maksud syariah. Pada umumnya ahl al-ra'y dengan kemampuan debatnya dapat mengalahkan argumentasi ahl al-hadîts, sebagaimana contoh di atas. Maka munculnya Muhammad ibn Idris al-Syafi'i atau yang dikenal dengan Imam Syafii (150-204 H atau 767-820 M), yang di satu segi menguasai banyak hadis dan di lain segi memiliki kemampuan dalam menggali dasar-dasar dan tujuan-tujuan hukum, dapat menghilangkan supremasi ahl al-ra'y terhadap ahl al-hadis dalam perdebatan. 


Karena jasanya membela hadis, maka ia dijuluki sebagai "nâshir al-sunnah" (pembela Sunnah). Pembelaan ini tidak hanya ditujukan kepada kalangan ahl al-ra'y yang banyak mendahulukan rasio dari pada hadis, tetapi juga kepada kalangan ahl al-hadîts yang dalam beberapa hal menggunakan hadis lemah atau mendahulukan praktik penduduk Madinah dari pada hadis. Pikiran-pikiran Imam Syafii ini memang tidak terlepas dari latar belakangnya yang pernah belajar di lingkungan kedua aliran ini, yakni dengan Malik ibn Anas dan dengan al-Syaibani, murid Abu Hanifah. Pemikiran atau hasil ijtihad al-Syafi'i dibukukan dalam kitabnya berjudul al-Umm, dan oleh pengikutnya ia kemudian dijadikan sebagai pendiri mazhab Syafii. 


Mujtahid besar lainnya adalah Ahmad ibn Hanbal (164-241 H atau 780-855 M), yang pernah belajar pada Imam Syafii dan Abu Yusuf (murid Abu Hanifah). Di samping seorang ahli fiqih (faqih), ia juga dikenal sebagai seorang ahli Hadis (muhaddits), dan ia memang menulis kitab hadis Musnad Ahmad. Meskipun ia pernah belajar pada al-Syafi'i dan Abu Yusuf, tetapi ia memiliki pemikiran fiqih yang agak berbeda dengan keduanya serta berbeda pula dengan pemikiran fiqih Malik, sehingga para pengikutnya menjadikannya sebagai pendiri mazhab Hanbali. 


Keempat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali) inilah yang sampai kini dianggap sebagai mazhab fiqih yang beraliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Selain empat mazhab ini (dalam ahl-al-Sunnah) masih ada mazhab lain, akan tetapi kini sudah tidak ada pengikut lagi, yakni mazhab al-Awza'i yang didirikan oleh Abd al-Rahman ibn 'Amr al-Awza'i (88-157 H) dan mazhab al-Zhahiri yang didirikan oleh Daud ibn Ali al-Ashfahani (202-270 H). 


Di samping mazhab-mazhab ahl al-Sunnah ini ada mazhab-mazhab fiqih di lingkungan Syiah, yakni mazhab Syiah Ja'fariyyah, mazhab Zaidiyyah, dan mazhab Isma'iliyyah. Namun yang terkenal adalah mazhab Ja'fariyyah, sebuah mazhab yang didirikan oleh Ja'far al-Shadiq (80-148 H) dan diikuti oleh kaum Syiah Imamiyyah (Dua belas imam). [] (Rudhy Suharto)